Serpihan serpihan runcing
dari kaca itu mulai menata dirinya. Tak berharap apapun pada siapapun. Ia takut
serpihannya yang runcing akan melukai tangan lembut orang lain yang hendak
menyentuhnya, untuk membantunya merangkai serpihan menjadi kaca yang utuh.Ia
hanya ingin kembali dan tak mau menjadi "serpihan" lagi. Ia ingin
kembali utuh menjalani semua selayaknya tak pernah ada hal yang buruk yang
menampar hidupnya.
Ia menata lagi, dan lagi.
Dia berharap tak pernah
jadi serpihan, dia lebih memilih jika dipatahkan menjadi dua bagian. Karena
sulit menata serpihan. Serpihan kaca itu tak akan pernah bisa menjadi kaca yang
“utuh” kembali. Ia bisa tertata namun rapuh, dan bahkan dapat kembali hancur. Padahal
jika hanya patah, ia tidak terlalu sulit untuk menyambung kedua bagian yang
patah itu menjadi satu kesatuan, ia hanya rapuh ditengah bagian yang patah,
tidak disemua bagian.
Dia bertanya pada dirinya
sendri: Apalah arti menyesali semuanya, tanpa berbuat apa apa? Dan ia
menasehati dirinya sendiri: boleh bersedih namun jangan berlarut, boleh
terjatuh tapi harus bangkit.
Rupanya ia sudah
menyadari.. Rupanya ia ingin kembali.
Ia memaki diri sendiri.
Membakar semangatnya lagi yang dulu telah tenggelam karena keputus asaan dan
kesedihan yang tak berujung.
Ikhlas memang tak semudah
kedengarannya, lagipula apa salahnya mencoba walaupun berat dan banyak orang
yang meragukannya?
Meski mereka bilang “tak
mungkin” apa salahnya mencoba kembali menata serpihan kaca menjadi keca yang
utuh lagi? Tak pernah akan tau bisa atau tidak bila terlalu pengecut untuk
sekedar mencoba. Mungkin memang kaca itu akan “rapuh” tak sebaik dulu,
namun…tak perlu takut jika ada yang ingin menghancurkannya lagi, sebab kaca itu
tak bisa di hancurkan lagi karena ia sudah menjadi “serpihan”
Selalu ada pelangi
dibalik hujan, percayalah..
Walaupun awan menyembunyikan
mentari dan menggantinya dengan petir disiang mendung.
Tugasmu hanyalah percaya.
Percaya bahwa suatu hari pelangi akan melukis langit lagi.
Pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar