Pagi ini… mimpi itu
memaksaku untuk harus terbangun.. untuk berani menatap wajah dunia nyata, tanpa
terus berangan...
Ini bukan mimpi
tentangmu, tapi entahlah.. orang yang pertama ku fikirkan setelah bangun,
mengapa terbesit namamu? aku tidak mengerti… sayangnya, aku memang tidak akan
pernah bisa mengerti..
Pagi ini, aku seperti
anak remaja lain yang biasanya berubah menjadi stalker. aku benci kenapa harus
menjadi seperti ini, keterganrtungan atas hausnya mendengar kabarmu, bukan
bukan…. hanya sekedar ingin mengetahui keadaanmu, lewat dunia dimana ada orang
yang memperhatikan tingkahmu dalam diam, dunia dimana ada orang yang rindu
mengetahui kabarmu, dunia dimana semua… dilakukan dalam diam, dunia maya.
Iya… pagi ini juga kamu
benar benar membuat mata hatiku mengerti, mengerti kalau…. ternyata kita memang
hanya berteman, ternyata rasamu bukan untuk ku lagi dan ternyata rasaku...
semakin dalam, dan sakitnya aku memang harus menyadari.. kita memang benar
benar selesai… selesai sebelum pernah dimulai .
Aku tidak akan menangis,
kamu… tidak usah khawatir, bukan bukan… dan bahkan kamu tidak usah mencoba
untuk bisa khawatir.
Aku memang salah semuanya
ku simpulkan sendiri, seakan kamu mempunyai rasa yang sama… seakan kamu hanya
menyimpan namaku dalam relung hatimu dan seakan… namaku terlalu terselip dalam
doamu, seperti yang kulakukan disetiap sujud dihariku, selalu terselip namamu.
Bahkan semua hanya…
seperti deburan ribuan debu di kaca, yang memang harus dihapus… seperti kamu,
yang telah lama menjadikanku debu dikaca.
Demi tuhan, ini salahku…
yang tak pernah bisa menggantikan namamu dalam asa, tak pernah tega menghapus
namamu dalam doa, dan tak pernah rela menggeser namamu dalam hati yang sekarang
jadi kepingan.
Otak ku berkecamuk, ingin
rasanya meletupkan amarah, dan kesedihan yang mendalam, tapi sayang… kepada
siapa? hanya tuhan yang mengerti rasa sakitnya, dan yang lain hanya terdiam
tanpa melakukan apa apa.
Dia siapa? kata itu yang
sangat ingin ku tanyakan, hanya kata itu yang bisa membuat hatiku tercabik… lagi .
Memangnya aku siapa? lagi lagi kata itu meredamkan segala keberanian ku
menanyakan “dia siapa” . Lagi
lagi, kata itu membuat aku seperti tidak ingin lagi hidup dalam pengabaian
Aneh rasanya terus
memaksakan hidup dalam pengabaianmu, menggantungkan asa dengan sepenuh harapku
kepadamu. Dan seseorang tidak terus hidup dalam cambukkan dan siksaan
pegabaianmu yang terlalu dalam .
Sayangnya semua kulakukan
dalam diam, kecewa dan sedihku hanya kulakukan dalam diam, tangis dan tawa ku
tentang mu hanya kulakukan dalam diam, aku hanya bisa mencintaimu dalam diam
disaat semua kata rasanya tidak mampu kuungkapkan, disaat doa dalam sujud adalah
jalan keluar, untuk mendoakan orang yang berhasil mengambil simpatiku sampai
sekarang, kamu..
Lagi lagi, kamu tidak
perlu mencoba mengerti bagaimana rasa sakitnya, biar… biar hanya aku saja yang
menanggung rasa sakitnya terabaikan.
Aku tidak menyebut ini
karma, dan jika memang karma, aku ingin merasakan dan tidak akan terlewatkan sedikit
pun rasanya sakitnya. Agar aku bisa lebih mengahargai setiap yang datang dan
mengikhlaskan setiap yang pergi .
Seperti mungkin yang aku
lakukan dulu kepadamu, tidak menganggapmu ada.. dan kini kamu yang tidak
menganggapku ada. Sekarang giliran aku, yang merasakan sendirian bagaimana rasanya
terabaikan .
Diantara banyak yang
datang, belum ada yang sepertimu, yang dapat menarik simpatiku sampai sejauh
ini. Belum ada yang seperti mu, yang membuatku berani menggantung asa padamu.
Belum ada yang sepertimu, yang tidak dapat terbaca. Belum ada yang seperti mu,
belum .
Kamu seperti sebuah pena
yang menari-nari dalam secarik kertas, yang berbagi indahnya tulisan
ceritamu diatas kertas polos, dan saat kertas itu sudah penuh akan cerita
cerita tentang mu, kau akan pindah ke kertas yang lain… kertas yang masih belum
ada tulisan didalamnya, dan kau menuliskan ceritamu lagi, dan seterusnya .
dan pada akhirnya aku hanyalah secarik kertas yang kau sisihkan.
Memang sudah seharusnya
melepas apa yang harus dilepas, memang seharusnya menghapus apa yang harus
dihapus, memang seharusnya merelakan apa yang bukan milik kita.
Jangan khawatir, tekatku
sudah bulat untuk keluar dalam bayang bayangmu, dan jangan remehkan aku apakah
aku bisa melakukannya, jangan!
Aku fasih dengan
bersandiwara, tenang saja. Kau tak akan liat wajah terpuruk dan tersakiti
diwajahku, aku tak pernah akan menampakkan itu, yang kau lihat nanti hanya
senyum, tenang saja, hanya sebuah senyum!
Senyum yang terpaksa
digoreskan diwajah untuk menutupi semua… semuanya… semua .
Selamat tinggal, kamu, yang
telah berhasil membuatku terpuruk begitu dalam .
Selamat tinggal kamu,
seseorang yang selalu menarik di mataku .
Selamat tinggal kamu…
Kisahmu tak akan ku lupa,
karna kau seperti bunga edelweiss, kisahmu akan abadi direlung.
Hati ini, diiringi
jeritan hati seseorang yang terlanjur terluka, hanya kisah tak beserta kepingan
luka .
Selamat tinggal kamu.
Dan jebakkan nostalgia
itu, sebentar lagi hanya sebuah cerita, tak aka nada lagi tawa, tangis, kecewa,
bahagia, sedih. yang tersisa hanyalah cerita tentangmu… yang siap untuk dihapus
dari catatan hati dan fikiranku secepatnya .
Aku tak akan memaksakan
“ada” dalam bahagiamu dengan dia, jangan khawatir… aku tidak apa-apa, lanjutkanlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar