Hiii,
It’s me again, comeback after 3 years!😆
Journaling
adalah salah satu healingku di usia ke 28 ini. Yup, I was turning 28 in dec
last year.
Oh
oke, mari kita mulai dari awal Januari 2022. Mengawali tahun 2022, banyak khawatirnya.
Si overthinker ini memang banyak mempertimbangkan banyak hal.
Thinking
about study a lot
Terkait
study, berpikir lanjut sekolah tapi umur sudah 27. Terbesit apa relakan saja ya
kemauan untuk lanjut sekolah? Karena sudah ketuaan dan toh lebih enak kerja karena
dapat uang.
Saya
sampai melakukan kalkulasi, kalau saya start kuliah umur 27 berarti selesai
umur 29 atau 30. Tua banget, kapan nikahnya? Lol
Tapi
setelah banyak memikirkan A-Z dan sadar kalau lanjut atau ga lanjut study, saya
akan tetap bertemu umur 29, kan?
Yang
jadi pembeda adalah versi saya umur 29 dengan ilmu yang terupgrade dan terus
belajar, atau bukan.
Ortu
juga udah kadung senang anaknya punya kemauan untuk belajar lagi. Jadi ya
sudah, saya tidak mau mengecewakan ortu dan diri saya di masa depan.
I’ll
thank me, later.
Awal
kuliah struggling a lot!
Penghasilan
pendidik yang cukup tapi ga seberapa dan mesti sisihin uang untuk bayar
semesteran, agak terseok-seok yah aha ditambah habis ditipu teman uang belasan
juta, uang tabungan jadi setipis tisu.
Tapi
alhamdulillah,
Selama
ada usaha dan doa, rezeki bisa datang dari mana saja.
Di
awal kuliah juga sempet minder, karena teman-temannya ternyata dari background
yang sudah oke dan karirnya pun settle. Ibarat anak bawang, itulah saya hehe.
Ditambah
pemikiran mereka kritis sangat, kemampuan berdebat dan menyanggah pendapatnya
gak kaleng-kaleng. Alhasil, makin mengecil saja nyali saya.
Tapi
kemudian saya memberi pemahaman ke diri sendiri bahwa kami di sini sama-sama belajar,
bukan untuk membuktikkan siapa yang “paling” dalam segala hal.
Focus
on yourself.
Ketika
saya ubah mindset saya di atas, saya jadi lebih bisa mengenali diri dan apa
yang saya butuhkan dalam belajar. Saya jadi lebih fokus memberikan yang terbaik
dalam proses perkuliahan. Orang yang saya anggap paling pintar di kelas pun
minta salinan semua tugas dan UAS yang saya kerjakan sebagai referensi dia
belajar, karena ia melihat saya mendapat nilai tinggi di perkuliahan. Wow, kembali
saya sadar ternyata orang lain tau potensi saya, kecuali saya sendiri.
Alhasil,
semester pertama I got my “A” di semua subject. Unpredictable but not surprise.
Next
time jangan keras sama dirimu sendiri ya, Fira. Kamupun berharga.
Thinking
about job a lot
Awal
menjadi pendidik, saya paling takut kalau diminta mengajar kelas I SD. Kelas I
menjadi momok sangat menyeramkan untuk saya. Bukan tanpa alasan, karena anak
kelas awal masih belum terbentuk kepribadiaannya, rutinitasnya, aturannya, dan
pola pikirnya. Intinya, PR si pendidik ini banyak sekali, karena anak belum
memiliki kemampuan dasar penting dalam kehidupannya.
Memang
dasarnya kita tidak boleh membenci segala sesuatu segala berlebihan ya, guys.
Saya malah ditempatkan di kelas rendah selama 4 tahun! haha
Tahun
awal stress berat, karena saya belum bisa membaca pola belajar anak kelas I,
dan menentukan bagaimana cara bersikap. I cried almost everyday karena memang
secapek itu! Haha
Tahu-tahu
sudah tahun keempat, dan saya malah sesayang itu sama anak-anak hihi.
Setelah
mengalami pasang surut mendidik, saya sadar bahwa kami sama-sama belajar.
Banyak sekali hal yang saya bisa dipelajari dari anak. Bagi saya, anak adalah
partner belajar.
Sekarang saya sudah tidak lagi kacau atau gak
karuan ketika dihadapi masalah, karena paham bahwa cara anak menyampaikan
kebutuhannya berbeda-beda, dan setiap anak itu unik.
Pendidikan
yang benar dan terarah membuat mereka lebih mudah mengenali dan membentuk pribadi
menjadi sosok yang bermoral. Karena inti dari sebuah pendidikan adalah membuat
anak menjadi versi terbaik dari dirinya. Seorang pendidik bertanggung jawab untuk
itu.
Terima
kasih sudah menjadi pendidik yang baik untukku ya, anak-anak. Terima kasih
sudah mau berproses bersama Ibu guru.
Thingking
about love a lot
Saya
memiliki kepercayaan bahwa sumber kebahagian berasal dari orang yang saya sayang.
Well, saya salah besar. Alhasil di tahun 2022, I got my biggest heart break.
Hubungan
saya berakhir di pertengahan 2022, dan rasanya dunia jahat sekali. Saya tersakiti
oleh ekspektasi sendiri. Saya kira dia yang terakhir, ternyata bukan.
Saya
sempat merasa bodoh, tidak berguna, dan tidak pantas dicintai. Ada 1001 “kenapa”
dan “andai saja” yang berputar di kepala saya. Isi kepala saya berisik sekali
setiap hari.
Saya
menyalahkan diri sendiri, self esteem saya anjlok pol selama pertengahan-akhir
tahun. Saya hampir minum obat untuk menghilangkan rasa sakit, dan menjadwalkan
janji temu ke psikolog. Karena saya pikir, saya membutuhkan bantuan professional.
Semua
itu gak sampai terjadi, karena saya dikelilingi oleh keluarga dan teman yang
sangat suportif. Mereka membantu saya dalam proses healing dan accepting.
Dalam
prosesnya, saya menghabiskan banyak waktu membaca, journaling, bertemu banyak
orang, dan melakukan afirmasi positif ke diri sendiri.
It’s
okay to be hurt, you need it sometimes.
Saya
berjanji ke diri sendiri, semua tentang rasa sakit berakhir di dec 22. Yup, I
win.
I
have been welcoming the new version of me, in the 2023.
Semua
yang terjadi menjadi pelajaran berharga yang membuat saya menjadi pribadi yang
lebih kuat dari sebelumnya. Setidaknya kini saya menyadari bahwa saya
bertanggung jawab atas kebahagiaan saya sendiri, bukan orang lain.
In
the end, I want to thank me again.
Thank
u for standing up for yourself, always. 2022, accepted.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar