;http://downloads.totallyfreecursors.com/thumbnails/sweden.gif Nurlailie Zhafirah: April 2014

Senin, 28 April 2014

Kertas dan pena



Malam ini, aku memutuskan untuk bersantai sejenak mendinginkan pikiran dan hati yang sedari pagi menjerit menuntut haknya untuk beristirahat. Menyingkirkan segala hal yang berhubungan dengan kuliah. Entah itu tugas kuliah, urusan kuliah, buku buku cetak kuliah, organisasi dll.

Tapi aku tidak menyingkirkan sebuah pena dan kertas yang ada diatas tas yang biasa aku pakai untuk kuliah, aku melihat dan akhirnya mengambilnya iba karena mereka terus melambai seakan berbicara padaku :
“kemarilah wahai sayang… bagilah kisahmu diatas badanku, dan sahabatmu, pena,  akan membantumu mewarnai tiap kisahmu dibadanku agar kisahmu ini dapat kekal, dan tidak hilang daripada kau menyimpannya didalam memori ingatanmu yang kian hari makin merapuh. Dan lewat tulisanlah segala yang kau fikirkan terkesan lebih nyata dan hidup”

Hampir seperempat jam aku berfikir, terdiam, dan meratapi sebuah kertas dan pena yang kini sudah ku pindahkan diatas meja belajar bidang yang terletak di pojok kamar. Aku mencoba menulis satu kata namun mengurungkan niat dan meletakkan kembali sebuah pena yang ku genggam seperempat jam tadi ditangan kanan.

Apa yang harus aku tuliskan? aku hanya tidak ingin melakukan apa apa saat ini. Aku berfikir lagi. Lagi lagi aku dipaksa berfikir.
Apakah kertas dan pena ini pernah merasa bosan? atau pernahkah mereka berontak dengan apa yang dikaruniai Tuhan terhadapnya? karna ditakdirkan untuk menjadi sebuah benda? sebuah benda mati yang bahkan kadang manusia tidak benar benar mau menggunakannya secara benar. Kadang diperlakukan tidak layak, dan tidak ada harganya.

Oh, iya… apakah mereka juga punya hati seperti manusia? apa mereka bisa menangis? mereka perlu makan? sharing? tidur? atau mencintai seseorang? apa mereka perlu? atau memang butuh itu semua?

Entah pertanyaan macam apa yang barusan melayang layang dipikiranku.
Entah katagori aneh tingkat berapa seorang aku yang berbicara lewat kertas, berharap kertas menyampaikan kepada pena lewat sapuan semilir angin dan mereka saling berinteraksi untuk menyelesaikan masalah jenuhku yang tidak mendasar.

Kadang berbicara lewat pena dan kertas terkesan lebih baik daripada harus berbicara langsung, kadang kata kata yang dirangkai pena didalam kertas, tersurat lebih menggores makna daripada harus membuka mulut untuk langsung menyampaikan kata.

Akhirnya aku punya sesuatu untuk dituliskan diatas kertas yang sedari tadi setia menungguku membagi kisah untuk menjadi bagian dalam kisahnya.
Akhirnya aku punya sesuatu juga untuk ku sampaikan melalui pena yang sedari tadi meluncurkan kode agar aku segera memegangnya dan seakan berkata “biarkan aku saja yang mewakilimu berbicara”.
Aku menuliskan cerita lama yang kini tidak sengaja kutemukan lewat media modern pengganti buku, yaitu laptop.

Sore tadi, aku melihat sekeliling dan kedua mataku menyorot  sebuah benda di pojok meja kamar yang terletak begitu saja. Aku melabuhkan pilihanku pada laptop berharap ia bisa mengobati jenuhku.
Aku mencari tiap aplikasi aplikasi tak sengaja aku membuka pesan pesan masuk yang ada tersimpan dalam memory card di laptopku.
Aku membacanya satu demi satu berharap tak ada yang terlewat. Kadang aku membaca berkali kali mencoba mengingat apa yang dibicarakan dan bagaimana keadaan saat itu,
Betapa asiknya saat dulu perbincangan yang diangkat dari tema sederhana pun kadang memberi kesan yang membekas.

Bukan hanya sekedar membaca aku juga terhanyut untuk mendalami tiap kata yang tersirat selalu ada makna dalam kata, ya.. memang ada. Ada kalanya saat beberapa pesan yang kubuka begitu menggelitik, membuat ku tak kuasa memecah sunyi ruangan kamar dengan tawa, dan ada pula ketika kutemukan sebuah pesan yang membuat dadaku merasa sesak dan seperti ada sesuatu yang memcekik leherku saat membaca.

Seperti dipaksa kembali mengingat masa dulu,seperti dilempar ke masa lalu.
Aku lupa pernah sedalam itu, atau tepatnya aku lupa pernah sedekat itu
ada rindu yang berpadu dalam diri saat mengingat saat dulu yang begitu hangat, sangat hangat.
Ada rasa bersalah yang menyerang bertubi tubi disaat yang sama begitu merindu.
entah aku yang salah atau mereka yang belum bisa paham…

Saat aku menyadari, itu hanyalah sebuah pesan dulu, yang masih tersimpan. Hanya pesan. Dan orang-orang yang mengirim pesan itu telah memilih pergi satu persatu. Mungkin salah satunya karena dinginnya sikapku atau egoku yang membuat mereka pergi
Ataukah ketakutan ku? aku tau tapi aku takut.
Mungkin salah satu alasan kenapa terus bermain dalam zona nyaman adalah karena aku terlalu takut.

Aku takut memuja makhluk ciptaan-Nya lebih dari memuja-Nya aku takut menduakan cinta-Nya. sangat takut. Aku takut membuatnya cemburu, aku takut melukai hati-Nya.
Kadang aku memerlukan tuntunan, aku perlu seseorang yang bisa mengajakku mencintai-Nya bersama sama dengan caranya sendiri. Dan memerlukan seseorang yang setiap aku melihatnya aku ingat kepada-Mu, aku selalu taat kepada-Mu. Tidak mengabaikan perintah-Mu dan kewajiban ku sebagai seorang muslimah.

Aku pernah menemukannya, menemukan sosok seperti itu. Namun akhirnya pergi, karna mungkin terlalu lama dan ia memilih singgah kelain rumah. Hati yang biasa kusebut rumah.
Namun ada seseorang yang biasa, bahkan ketika shalat pun masih sering tertinggal, dunianya bukan duniaku. Kebiasaannya bukan kebiasaanku. Aku telah menjelaskan prinsipku.
Namun ia masih tinggal, untuk sekedar bersahabat, mungkin itu yang kita sepakati sekarang, 
Namun nyamanku sudah menjadi miliknya entah dari kapan. Dan aku berusaha menutupinya.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimuAllah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui” Qs. Al-Baqarah : 216

Kertas itu sudah penuh dengan goretan huruf yang kutuangkan didalamnya, ada sesuatu hal yang terlepas dari fikiran dan hati kecilku saat aku menuliskan, tidak lagi merasa sesak atau pun gelisah.
Kulihat kertas itu sedikit berair, apa dia menangis mengetahui kisahku saat kutulis diatas badannya?

Begitupun pena, tintanya semakin berkurang ketebalannya. Apa dia tidak tega mendengar kelanjutan kisahnya?
bahkan kertas dan pena mengerti. Dan tentu Ia-Iah yang paling mengerti, saat lantai dan sajadah menjadi saksi ku mengadu tiap malam panjang di sepertiga malam.
Keraguan akan muhabbah masih tetap ada namun lebih berserah kepada sang pencipta muhabbah dan selalu berhusnuzon, bahwa tak ada keraguan ketika Ia telah menggariskan, mentakdirkan, ketika telah saatnya.. muhabbah pasti datang dengan cara yang tidak dapat diduga.