Malam ini, aku memutuskan untuk bersantai sejenak
mendinginkan pikiran dan hati yang sedari pagi menjerit menuntut haknya
untuk beristirahat.
Menyingkirkan segala hal yang berhubungan
dengan kuliah. Entah itu tugas kuliah, urusan kuliah, buku buku cetak kuliah,
organisasi dll.
Tapi aku tidak menyingkirkan sebuah pena dan kertas
yang ada diatas tas yang biasa aku pakai untuk kuliah, aku melihat dan akhirnya
mengambilnya iba karena mereka terus melambai seakan berbicara padaku :
“kemarilah wahai sayang… bagilah kisahmu diatas
badanku, dan sahabatmu, pena, akan membantumu mewarnai tiap kisahmu
dibadanku agar kisahmu ini dapat kekal, dan tidak hilang daripada kau
menyimpannya didalam memori ingatanmu yang kian hari makin merapuh. Dan lewat
tulisanlah segala yang kau fikirkan terkesan lebih nyata dan hidup”
Hampir seperempat jam aku berfikir, terdiam, dan
meratapi sebuah kertas dan pena yang kini sudah ku pindahkan diatas meja
belajar bidang yang terletak di pojok kamar. Aku mencoba menulis satu kata
namun mengurungkan niat dan meletakkan kembali sebuah pena yang ku genggam
seperempat jam tadi ditangan kanan.
Apa yang harus aku tuliskan? aku hanya tidak ingin
melakukan apa apa saat ini. Aku berfikir lagi. Lagi lagi aku dipaksa berfikir.
Apakah kertas dan pena ini pernah merasa bosan? atau
pernahkah mereka berontak dengan apa yang dikaruniai Tuhan terhadapnya? karna
ditakdirkan untuk menjadi sebuah benda? sebuah benda mati yang bahkan kadang
manusia tidak benar benar mau menggunakannya secara benar. Kadang diperlakukan
tidak layak, dan tidak ada harganya.
Oh, iya… apakah mereka juga punya hati seperti
manusia? apa mereka bisa menangis? mereka perlu makan? sharing? tidur? atau
mencintai seseorang? apa mereka perlu? atau memang butuh itu semua?
Entah pertanyaan macam apa yang barusan melayang
layang dipikiranku.
Entah katagori aneh tingkat berapa seorang aku yang
berbicara lewat kertas, berharap kertas menyampaikan kepada pena lewat sapuan
semilir angin dan mereka saling berinteraksi untuk menyelesaikan masalah
jenuhku yang tidak mendasar.
Kadang berbicara lewat pena dan kertas terkesan lebih
baik daripada harus berbicara langsung, kadang kata kata yang dirangkai pena
didalam kertas, tersurat lebih menggores makna daripada harus membuka mulut
untuk langsung menyampaikan kata.
Akhirnya aku punya sesuatu untuk dituliskan diatas
kertas yang sedari tadi setia menungguku membagi kisah untuk menjadi bagian
dalam kisahnya.
Akhirnya aku punya sesuatu juga untuk ku sampaikan
melalui pena yang sedari tadi meluncurkan kode agar aku segera memegangnya dan
seakan berkata “biarkan aku saja yang mewakilimu berbicara”.
Aku menuliskan cerita lama yang kini tidak sengaja
kutemukan lewat media modern pengganti buku, yaitu laptop.
Sore tadi, aku melihat sekeliling dan kedua mataku
menyorot sebuah benda di pojok meja kamar yang terletak begitu saja.
Aku melabuhkan pilihanku pada laptop berharap ia bisa mengobati jenuhku.
Aku mencari tiap aplikasi aplikasi tak sengaja aku
membuka pesan pesan masuk yang ada tersimpan dalam memory card di laptopku.
Aku membacanya satu demi satu berharap tak ada yang
terlewat. Kadang aku membaca berkali kali mencoba mengingat apa yang
dibicarakan dan bagaimana keadaan saat itu,
Betapa asiknya saat dulu perbincangan yang diangkat
dari tema sederhana pun kadang memberi kesan yang membekas.
Bukan hanya sekedar membaca aku juga terhanyut untuk
mendalami tiap kata yang tersirat selalu ada makna dalam kata, ya.. memang ada.
Ada kalanya saat beberapa pesan yang kubuka begitu menggelitik, membuat ku tak
kuasa memecah sunyi ruangan kamar dengan tawa, dan ada pula ketika kutemukan
sebuah pesan yang membuat dadaku merasa sesak dan seperti ada sesuatu yang
memcekik leherku saat membaca.
Seperti dipaksa kembali mengingat masa dulu,seperti
dilempar ke masa lalu.
Aku lupa pernah sedalam itu, atau tepatnya aku lupa
pernah sedekat itu
ada rindu yang berpadu dalam diri saat mengingat saat
dulu yang begitu hangat, sangat hangat.
Ada rasa bersalah yang menyerang bertubi tubi disaat
yang sama begitu merindu.
entah aku yang salah atau mereka yang belum bisa paham…
Saat aku menyadari, itu hanyalah sebuah pesan dulu,
yang masih tersimpan. Hanya pesan. Dan orang-orang yang mengirim pesan itu
telah memilih pergi satu persatu. Mungkin salah satunya karena dinginnya
sikapku atau egoku yang membuat mereka pergi
Ataukah ketakutan ku? aku tau tapi aku takut.
Mungkin salah satu alasan kenapa terus bermain dalam
zona nyaman adalah karena aku terlalu takut.
Aku takut memuja makhluk ciptaan-Nya lebih dari
memuja-Nya aku takut menduakan cinta-Nya. sangat takut. Aku takut membuatnya
cemburu, aku takut melukai hati-Nya.
Kadang aku memerlukan tuntunan, aku perlu seseorang
yang bisa mengajakku mencintai-Nya bersama sama dengan caranya sendiri. Dan
memerlukan seseorang yang setiap aku melihatnya aku ingat kepada-Mu, aku selalu
taat kepada-Mu. Tidak mengabaikan perintah-Mu dan kewajiban ku sebagai seorang
muslimah.
Aku pernah menemukannya, menemukan sosok seperti itu.
Namun akhirnya pergi, karna mungkin terlalu lama dan ia memilih singgah kelain
rumah. Hati yang biasa kusebut rumah.
Namun ada seseorang yang biasa, bahkan ketika shalat
pun masih sering tertinggal, dunianya bukan duniaku. Kebiasaannya bukan
kebiasaanku. Aku telah menjelaskan prinsipku.
Namun ia masih tinggal, untuk sekedar bersahabat,
mungkin itu yang kita sepakati sekarang,
Namun nyamanku sudah menjadi miliknya entah dari
kapan. Dan aku berusaha menutupinya.
“Boleh jadi kamu membenci
sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai
sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui” Qs. Al-Baqarah : 216
Kertas itu sudah penuh dengan goretan huruf yang
kutuangkan didalamnya, ada sesuatu hal yang terlepas dari fikiran dan hati
kecilku saat aku menuliskan, tidak lagi merasa sesak atau pun gelisah.
Kulihat kertas itu sedikit berair, apa dia menangis
mengetahui kisahku saat kutulis diatas badannya?
Begitupun pena, tintanya semakin berkurang
ketebalannya. Apa dia tidak tega mendengar kelanjutan kisahnya?
bahkan kertas dan pena mengerti. Dan tentu Ia-Iah yang
paling mengerti, saat lantai dan sajadah menjadi saksi ku mengadu tiap malam
panjang di sepertiga malam.
Keraguan akan muhabbah masih tetap ada namun lebih
berserah kepada sang pencipta muhabbah dan selalu berhusnuzon, bahwa tak ada
keraguan ketika Ia telah menggariskan, mentakdirkan, ketika telah saatnya..
muhabbah pasti datang dengan cara yang tidak dapat diduga.